Tuesday, October 18, 2011

hipersensitivitas

Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.

Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu. Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja, 2006).

Jenis Hipersensitivitas

Mekanisme Imun Patologik

Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit

Tipe I

Hipersensitivitas cepat

IgE

Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)

Tipe II

Reaksi melalui antibodi

IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraseluler

Opsonisasi & fagositosis sel

Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas pengaruh komplemen dan FcR

Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone)

Tipe III

Kompleks imun

Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)

Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen dan Fc-R

Tipe IV (melalui sel T)

Tipe IVa

Tipe IVb

1. CD4+ : DTH

2. CD8+ : CTL

1. Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh sitokin

2. Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin

(Baratawidjaja, 2006).

B. Mekanisme Alergi Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay) (Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

1. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.

2. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).

Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.

Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).

Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.

1. Mediator jenis pertama

Meliputi histamin dan faktor kemotaktik.

- histamin menyebabkan bentol dan warna kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler, dan kontraksi otot polos.

- Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.

2. Mediator jenis kedua

Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan lipoksigenase.

- Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.

- Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D, E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis) karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.

3. Mediator jenis ketiga

Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2) kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002)


D. Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi

Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.

Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut.

1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.

2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.

3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.

4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.

5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).

E. Penatalaksanaan Penyakit Alergi

Pada pasien perlu dijelaskan tentang jenis urtikaria, penyebabnya (bila diketahui), cara-cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dilakukan dan harapan di masa mendatang. Prioritas utama pengobatan urtikaria adalah eliminasi dari bahan penyebab, bahan pencetus atau antigen.

Penatalaksanaan medikamentosa terdiri atas pengobatan lini pertama, kedua, dan ketiga. Pengobatan lini pertama adalah penggunaan antihistamin berupa AH1 klasik yang bekerja dengan menghambat kerja histamin. Pengobatan lini kedua adalah dengan penggunaan kortikosteroid, sementara pengobatan lini ketiga adalah penggunaan imunosupresan (Baskoro et.al, 2007).

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik.

Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan Angiodema dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika.

Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI

Rengganis, Iris. Yunihastuti, Evy. 2007. Alergi Makanan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Tanjung, Azhar. Yunihastuti, Evy. 2007. Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.

bronkopneumonia

PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3) Bronkopneumonia.

Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anak-anak dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi kurang dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan angka kematian anak.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.

DEFENISI
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).

EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.(1)

ETIOLOGI
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
Faktor Infeksi
Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
Pada bayi :
Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.


Pada anak-anak :
Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.

Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.

Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon :
à Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid :
à Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan .
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya Bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

KLASIFIKASI
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan.
Pembagian secara anatomis :
· Pneumonia lobaris
· Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
· Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
Pembagian secara etiologi :
· Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
· Virus : Respiratory Synctitial virus, Parainfluenzae virus,
Adenovirus
· Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis,
Coccidiomycosis, Blastomycosis, Cryptoccosis.
· Corpus alienum
· Aspirasi
· Pneumonia hipostatik

PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
Inhalasi langsung dari udara
Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
Penyebaran secara hematogen
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
Susunan anatomis rongga hidung
Jaringan limfoid di nasofaring
Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.


Refleks batuk.
Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

GAMBARAN KLINIS
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.
Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu ( konfluens ) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras.
Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm­­­3 dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
3. Peningkatan LED.
4. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50% penderita yang tidak diobati. Selain kultur dahak , biakan juga dapat diambil dengan cara hapusan tenggorok (throat swab).
5. Analisa gas darah( AGDA ) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.


DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun(1,2).
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi, karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan :
Bronkopneumonia sangat berat :
à Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Bronkopneumonia berat :
à Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
Bronkopneumonia :
à Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
> 60 x/menit pada anak usia < 2 bulan
> 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
> 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
Bukan bronkopenumonia :
à Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1. kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. deteksi antigen bakteri

DIAGNOSA BANDING
Bronkiolitis
Aspirasi pneumonia
Tb paru primer
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan bronkopneumonia tergantung pada penyebab yang sesuai dengan hasil dari pemeriksaan sputum,yang mencakup:
· Anak dengan sesak nafas,memerlukan cairan IV dan oksigen (1-2/menit)
· Cairan sesuai dengan berat badan, kenaikan suhu dan status dehidrasi
· Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi seperti penisilin ditambah dengan kloramfenikol atau diberi antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampicilin.

KOMPLIKASI
Otitis media
Bronkiektase
Abses paru
Empiema

PROGNOSIS
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.

PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.

Bronkiolitis DEFINISI
Bronkiolitis adalah suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang merupakan percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya disebabkan oleh infeksi virus.

Bronkiolitis biasanya menyerang anak yang berumur di bawah 2 tahun.

PENYEBAB
Penyebabnya adalah RSV (respiratory syncytial virus). Virus lainnya yang menyebabkan bronkiolitis adalah parainfluenza, influenza dan adenovirus.
Virus ditularkan melalui percikan ludah.
Meskipun pada orang dewasa RSV hanya menyebabkan gejala yang ringan, tetapi pada bayi bisa menyebabkan penyakit yang berat.


Faktor resiko terjadinya bronkiolitis:

· Usia kurang dari 6 bulan

· Tidak pernah mendapatkan ASI

· Prematur

· Menghirup asap rokok.

GEJALA
Gejalanya berupa:
- batuk
- wheezing (bunyi nafas mengi)
- sesak nafas atau gangguan pernafasan
- sianosis (warna kulit kebiruan karena kekurangan oksigen)
- takipneu (pernafasan yang cepat)
- retraksi interkostal (otot di sela iga tertarik ke dalam karena bayi berusaha keras untuk bernafas)
- pernafasan cuping hidung (cuping hidung kembang kempis)
- demam (pada bayi yang lebih muda, demam lebih jarang terjadi).




DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksan dengan stetoskop terdengar wheezing dan ronki.
Pemeriksaan lainnya adalah rontgen dada dan analisa gas darah.

PENGOBATAN
Kadang tidak perlu diberikan pengobatan khusus.
Terapi suportif terdiri dari
- Pemberian oksigen
- Udara yang lembab,
- Drainase postural atau menepuk dada untuk mengeluarkan lendir
- Istirahat yang cukup
- Pemberian cairan.



Kadang bayi menjadi lelah dan mengalami serangan apneu (henti nafas). Jika hal ini terjadi, dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator.

Pada bayi yang sangat muda dan sakit berat, kadang diberikan obat anti-virus
ribavirin. Obat ini dapat mengurangi beratnya penyakit dan agar efektif harus diberikan pada awal penyakit.


PROGNOSIS

Setelah 1 minggu, biasanya infeksi akan mereda dan gangguan pernafasan akan membaik pada hari ketiga.
Angka kematian kurang dari 1%.
Masa paling kritis adalah 48-72 jam pertama.
Jarang terjadi bronkiolitis ulang,

PENCEGAHAN
Beberapa tindakan pencegahan pada bronkiolitis:

· Jangan membawa bayi berumur kurang dari 3 bulan ke tempat umum, terutama jika banyak anak-anak

· Penderita infeksi saluran pernafasan harus mencuci tangan atau menggunakan masker jika berdekatan dengan bayi.